Cerpen Tahun Baru #2




Haruko memandang beberapa kartu tahub baru buatannya yang baru selesai. Dia sudah membuat semua kartu untuk temannya, gurunya, dan…

Haruko menghela napas. Kurang satu orang lagi.

Haruko memandang pigura foto yang berada di meja ruang keluarga mereka. Foto Haruko bersama Emiko, sahabatnya sejak taman kanak-kanak. Setiap tahun, mereka rajin saling bertukar kartu ucapan tahun baru.

Tapi sekarang…

Haruko menghela napas untuk kedua kalinya. Mereka sedang bertengkar sekarang. Mereka memang sering bertengkar, tapi tidak pernah selama ini. Satu minggu lebih sudah mereka bertengkar. Dan di tahum baru nanti, genaplah sudah pertengkaran mereka dua minggu. Dan ini adalah pertengkaran pertama mereka di tahun baru.

“Haruko-chan!” panggil ayah dari belakang. “Sudah selesai semua kartumu? Ayah akan membawanya ke kantor pos. Harus cepat, sebab bukan hanya kartu kita yang akan mereka kirim.”

Dengan berat hati, Haruko memberikan ayahnya setumpuk surat yang tidak ada tercantum nama Emiko. Ini keputusannya. Haruko tidak akan memberikan kartu ucapan untuk Emiko. Rasa gengsi mengalahkan keinginan tulusnya memberikan Emiko kartu ucapan.

Tanpa melihat kartu-kartu itu lagi, ayah pamit pada ibu, “aku ke kantor pos dulu!”, mengenakan jaket tebal untuk menghindari dinginnya salju, lalu ke luar rumah.

Dengan Haruko yang masih memandang selembar kertas di atas meja tanpa berkedip.

***

“Bangun, Haruko!”

Midori, adik Haruko, menggoyang-goyangkan tubuh Haruko yang masih tertidur pulas di kasurnya. Haruko yang gampang terbangun, bahkan hanya karena ributan kecil, langsung terbangun.

“Ada apa?”

“Hei, katamu ingin melihat matahari tahun baru? Ini sudah jam setengah lima.”

Teringat janjinya Haruko langsung bangun dan menatap ke luar jendela. Masih gelap, tapi setidaknya member waktu bagi mata Haruko kembali segar. Sungguh tidak indah kan, menatap matahari pertama di tahun baru dengan mata setengah tertutup?

“Ngomong-ngomong, kau tetap mengirimkan kartu tahun baru kan, untuk Emiko?”

Pertanyaan Midori yang menyentak Haruko membuat Haruko seketika tersadar. Haruko terdiam sejenak dengan tatapan kosong ke depan.

“Belum kan?” terka Midori.

“Memang belum,” aku Haruko. Dia tertunduk sedih. Lalu dia berbicara dengan pelan, “ya, aku tahu ini salah, tapi ini sudah terlambat. Kalau kukirim hari ini, pasti sampainya bukan hari ini…” keluhnya.

“Tidak, belum terlambat!” kata Midori. Dia berdiri, mengambil sesuatu di meja belajarnya, dan duduk kembali di hadapan Haruko. Kali ini dengan sebuah kertas yang dibentuk menjadi kartu ucapan dan dihiasi. Midori memberikan kartu itu pada Haruko. “Ini masih pagi. Kau masih bisa mengantar kartu ini ke rumah Emiko. Ingatlah, demi persahabatan kalian.”

Haruko menatap kartu yang sudah berada di tangannya itu.

“Ayolah,” bujuk Midori dengan tampang memelas, “hilangkan rasa gengsimu itu. Ini adalah cara perdamaian kalian. Kalian sudah bertengkar selama dua minggu.”

Haruko menatap Midori lekat-lekat. Untuk pola pikir, adiknya ini memang lebih bijak disbanding dia.

Haruko teringat kembali pertengkarannya dengan Emiko dulu. Hanya kesalahpahaman kecil dan rasa gengsi untuk bisa saling memaafkan.

“Oke,” kata Haruko bangkit berdiri. “Aku bakalan pergi. Demi persahabatanku dengan Emiko!!” teriak Haruko bersemangat.

“Semangat!!! Terus bersemangat walaupun udara lagi dingin!!!”

Mengingat hal itu, nyali Haruko langsung ciut.

***

Haruko masih terpaku di depan rumah Emiko. Sepucuk kartu ucapan tahun baru sudah berada di kotak pos rumah Emiko, bergabung dengan puluhan kartu ucapan lain yang sudah diikat dari kantor pos.

“Selamat tahun baru,” batin Haruko dalam hati. Dia enggan masuk, mengingat kenyataan bahwa mereka masih bertengkar.

Haruko berbalik untuk pulang, namun…

“Haruko-chan!”

Terdengar suara seseorang memanggil Haruko dari belakang. Suara yang sudah tak asing lagi bagi Haruko, suara yang sangat dia rindukan. Haruko berbalik badan dan…

“Emiko-chan!” teriak Haruko keras, melupakan fakta bahwa mereka bertengkar.

“Hai,” sapa Emiko dengan suara pelan. “Lagi bikin apa?”

“Mmm…” Haruko gelagapan. Apa dia harus jujur? Tapi karena dia tidak sempat memikirkan alasan alin untuk berbohong, Haruko akhirnya memilih untuk jujur. “Membawa kartu ucapan. Aku benar-benar lupa membuat kartu ucapan untuk semua orang, akhirnya kuantar semua ke rumah masing-masing.”

Oke, Haruko sedikit bohong.

“Aku juga baru dari rumahmu, membawa kartu tahun baru,” kata Emiko tanpa dijawab. “Tapi aku tidak lupa sepertimu, alasanku lain. Sebenarnya aku masih gengsi memberimu kartu ucapan, apalagi teringat pertengkaran kita. Tapi kata ayahku, kalau aku terus-terusan begini, kita tidak akan bisa damai.”

Haruko menatap Emiko tanpa berkedip. Emiko benar-benar jujur, tak seperti dirinya yang berbohong demi mempertahankan harga diri.

“Emiko-chan…” kata Haruko pelan, “…aku mau jujur. Sebenarnya aku juga berpikir seperti kau kemarin. Tapi adikku bilang inilah saatnya perdamaian kita. Aku sadar adikku benar…” Haruko menatap Emiko yang juga menatapnya tertegun. “…dan maaf kalau aku bohong.”

Haruko siap untuk dimusuhi lagi oleh Emiko karena berbohong. Tapi dugaan Haruko salah. Emiko malah mendekati Haruko dan memeluknya. Memeluknya. Sebuah pelukan persahabatan.

“K-kamu tidak marah aku berbohong?”

“Halo, aku tidak akan sebodoh itu, menghancurkan persahabatan hanya gara-gara sebuah masalah sepele,” kata Emiko.

Haruko tersenyum gembira. Dia mempererat pelukannya untuk Emiko, sahabat yang sangat dia rindukan.

THE END

Gengsi adalah salah satu sifat buruk yang dimiliki banyak manusia. Gengsi dapat diartikan sebagai suatu sifat yang tak mau kehilangan harga diri, tak mau mengalah.

Gengsi menghalangi semua tindakan baik yang ingin dilakukan seseorang. Gengsi membuat seseorang berpikir ke depan dengan pikirannya sendiri yang belum tentu benar, bukan berdasarkan pada kenyataan. Gengsi membuat seseorang mengurungkan niatnya yang sebenarnya telah dipikirkan baik-bak.

Oke, rasa gengsi memang juga perlu. Tapi kalau berlebihan, itu hanya membuat hal buruk pada kehidupan kita. Apa yang sebenarnya bisa tersusun baik, hancur karena rasa gengsi itu. Jadi, kalau kalian merasa mempunyai rasa gengsi yang cukup besar, ada baiknya untuk tidak menggantungkan perbuatan kalian dengan rasa gengsi itu.

Ingat, dunia nggak bakalan kiamat kalau kalian merasa terkalahkan!
 
see next story                                            

Komentar